telusur.co.id - Foto Bupati Bekasi, Eka Supria Atmaja yang mejeng dalam kemasan bantuan sosial (bansos) yang dibagikan ke masyarakat terdampak kebijakan Pembantasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19, menuai polemik.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Cikarang, Kabupaten Bekasi, Raden Rara Mahayu Dian Suryandaru menegaskan, dalam situasi seperti sekarang ini, semua orang mempunyai sense of crisis yang cukup tinggi. Artinya, harus punya kepekaan yang tinggi untuk bisa menjaga perasaan publik.
“Ya, gimana, mungkin sudah menjadi kebiasaan di sini. Karena, selama yang bertugas di Kabupaten Bekasi, semua iklan dan stiker dan sebagainya yang kaitan dengan pemerintah daerahnya, selalu bergambar bupati,” katanya kepada telusur.co.id, Rabu (22/4/2020).
Rara menegaskan, prinsip penyampaian bantuan itu tepat guna dan tepat sasaran. Terlebih lagi, ditengah situasi yang sensitif, harus peka dan harus bisa menjaga perasaan publik, sehingga tidak menimbulkan polemik baru ditengah upaya menyelesaikan persoalan pandemi Covid-19 di Kabupaten Bekasi.
“Nggak harus gitu juga dalam penyampaikan bantuan pemerintah. Sekarang yang harus dikedepankan itu, tepat guna dan tepat sasaran bagaimana masyarakat ini terbantu dalam situasi sulit saat ini,” tandasnya.
Diketahui, Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Dinas Sosial Kabupaten Bekasi menyalurkan bansos sebanyak 152 ribu kepada warga yang terdampak Covid-19.
“Sebanyak 152.000 bantuan logistik yang akan di distribusikan di setiap kecamatan. Untuk pengiriman pertama kali, hari ini kita sebarkan sebanyak kurang lebih 5.000 paket logistik,” kata Kepala Dinas Sosial, Abdillah Majid, dalam penyerahan simbolis yang dilakukan di Markas Kodim 0509/Kabupaten Bekasi, Senin (20/4/2020).
Sebelumnya, Ketua LSM Solidaritas Transparansi Pemerhati Indonesia (Sniper), Gunawan menyoroti bansos yang disalurkan ke masyarakat terdampak Covid-19 selama penerapan PSBB di Kabupaten Bekasi, berlabel Bupati Bekasi, Eka Supria Amaja.
Menurut Gunawan, bantuan yang disalurkan ke masyarakat terdampak kebijakan PSBB Covid-19 itu, merupakan anggaran pemerintah yang notabene adalah uang masyarakat yang dikelola pemerintah untuk kepentingan masyarakat, bukan anggaran pribadi bupati.
Pembuatan stiker, kata Gunawan, pastilah menggunakan biaya yang tidak sedikit, karena bansos yang disalurkan ke masyarakat itu ribuan paket sembako. Satu paket dua stiker, dus sama beras coba kalau dihitung berapa ratus ribu stiker yang harus dicetak dan berapa anggaran yang juga harus disiapkan.
“Dinas Sosial yang sudah bekerja maksimal untuk melakukan pengelolaaan dan penyaluran bansos buat warga terdampak jangan sampai terciderai dengan pempelan stiker bupati, akhirnya bantuan yang tadinya demi kemanusiaan terkesan jadi komoditas politik, semestinya hal ini tidak boleh terjadi,” ketusnya.
Menanggapi foto Bupati Bekasi, Eka Supria Atmaja yang mejeng dalam kemasan bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak kebijakan PSBB dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Wakil Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (POSBAKUMADIN) Kabupaten Bekasi, Advokat Imam Prayogo menegaskan, tidak melihat ada indikasi perbuatan pidana (straffbaarfeit).
Baik itu ditinjau dari reglemen delik umum ataupun delik khusus dalam tata positifisme hukum republik ini. “Dalam gradasi ini bukan berarti saya membela Bupati Bekasi. Saya hanya melihat dalam konteks hukum pidana positif secara objektif tanpa tendensi dan kepentingan apapun,” kata Imam Prayogo ketika diwawancarai di Pengadilan Negeri Cikarang, Kamis (30/4/2020).
Menurutnya, dalam ajaran ilmu hukum pidana "doktrin ilmu hukum" seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana jika ada perbuatan permulaan yang melawan hukum (wedderechtelijk formeel), yaitu suatu perbuatan yang hanya dipandang apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang, inilah inti ajaran tentang kesalahan "schuld" karena tiada pidana tanpa ada kesalahan.
Pakar hukum perseroan ini menjelaskan, tidak menjadi persoalan apakah bantuan sosial tersebut bersumber dari APBN, APBD Provinsi atupun dari APBD Kabupaten yang ditempeli foto bupati itu karena bupati melakukannya dalam hubungan dengan jabatan dan pekerjaannya.
Terkecuali dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), jika bupati berstatus sebagai calon atau petahana menempeli foto di bansos atas nama pribadi dengan menggunakan fasilitas negara, itu baru bisa dilihat perbuatan "straffbaarfeit"-nya dan dapat dijerat dengan Pasal 280 juncto Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
“Sekarang kan bukan masa kampanye dan belum diketahui apakah bupati akan mencalonkan lagi atau tidak,” ucapnya.
Lebih jauh, kata Imam, yang menjadi persoalan di sini adalah hanya masalah etika kearifan lokal saja. Masalah pantas atau tidaknya, masalah etis atau tidak etisnya ditengah situasi keprihatinan bangsa akibat pandemi Covid-19 menempeli stiker di bansos masyarakat dengan foto bupati sekalipun perbuatan ini bukan tindak pidana sudah pasti akan mengundang polemik di masyarakat karena terkesan itu adalah bantuan dari pribadi bupati.
“Dalam hal ini, saya sependapat dengan rekan saya Ibu Raden Rara Mahayu Dian Suryandaru, Kajari Cikarang, sempat mengomentari dalam situasi sekarang semua orang punya sense of crisis yang tinggi, artinya semua pihak harus punya kepekaan untuk menjaga perasaan publik.
Alangkah lebih arif dan bijaksana, lanjut Imam, setiap bansos yang diterima masyarakat agar ditulis dan tertera jelas di paket bantuan tersebut apakah bantuan itu dari pusat, Provinsi atau Kabupaten atau bahkan dari instansi lain tanpa stiker bupatinya, terkecuali bantuan tersebut langsung dari pribadi bupati.
“Di bulan Ramadhan yang suci ini lebih eloknya kita berhusnudzon berprasangka baik anggaplah bansos dari berbagai sumber itu disalurkan melalui Bupati kepada masyarakat secara tepat sasaran. Innamal a'malu bil niati, memang niatan kerja iklas Bupati untuk kepentingan masyarakat,” kata Imam. (red)



